Tegar (Cerita Motivasi)

Posted by yoginferno On Selasa, 16 Oktober 2012 0 komentar
Penulis : Leli Erwinda

Menjalani hari tanpa kasih sayang dan belaian hangat seorang ibu, sudah menjadi hal biasa bagiku juga adikku. Ayah. Merangkap sebagai kepala keluarga sekaligus ibu bagi kami. Sementara ibu, sudah sembilan tahun ibu tak berada di sisi kami. Thailand. Ibu berkerja sebagai TKW di sana demi menopang biaya hidup kami awalnya. Tapi enam tahun terakhir ini setelah ayah mengabari ibu kalau dirinya telah pulih dari sakit, melalui tetangga kami yang berlibur ke Thailand dan mengenal majikan ibu, semenjak itu ibu tak pernah lagi mengirimkan uang dan hingga kini belum juga pulang. Hanya surat-surat tulisan tangannya sendiri yang mengabarkan kalau ibu dalam keadaan sehat. Setidaknya, hal itu bisa membuat kami tenang. Karena belakangan ini, sering sekali bermunculan berita tentang TKW yang disiksa dengan sangat keji oleh majikannya bahkan sampai ada yang dipulangkan ke kampung halamannya dalam keadaan tak lagi bernyawa.

Hari ini, ayah kembali memulai aktivitas seperti biasa yaitu berjualan es dawet keliling, setelah dua hari tidak berjualan karena demam.

“ Yah, hari ini biarin Rani temenin Ayah untuk berjualan ya. Kondisi Ayah kan belum terlalu sehat. Jadi kalau Ayah capek dorong gerobak, Rani bisa gantiin Ayah.” Ayah mengusap pelan bahuku.

“ Mana boleh seperti itu. Kamu kan mesti sekolah Ran. Sudah dua hari kamu dan Fe izin untuk tidak masuk sekolah demi merawat Ayah. Kalau kamu seperti ini terus, bisa-bisa sekolah mencabut beasiswa kamu.” Beasiswa yang diberikan oleh pihak sekolah hanya sebatas bebas SPP, namun buku cetak, LKS, dan biaya praktikum harus kami lunasi sendiri.

“ Tapi, Yah…” protesku. Ayah tetap melarang.

Akhirnya aku terpaksa mengalah dan membiarkannya mendorong gerobak es dawet sendirian sampai ke kampung sebelah. Gerobak, adalah satu-satunya benda yang ayah andalkan untuk membantu mencari nafkah. Tubuh ayah begitu kurus, namun beban yang ada di punggungnya terlalu berat untuk ditopang seorang diri. Tanpa keberadaan ibu di sisinya, membuat ayah kehilangan semangat hidup, sering melamun dan tidak tidur sampai larut malam. Hingga tak mengherankan kalau tubuh ayah makin kurus saja.

“ Kak, buruan mandi. Hari ini kan, kita ada ujian tengah semester.” Ujar Fe, adikku yang hanya selisih 2 tahun dariku.

Aku pun bergegas mandi, menyiapkan perlengkapan sekolah, tanpa sarapan, kemudian siap berangkat menuju ke sekolah bersama Fe dengan mengayuh sepeda usang yang dibeli dari uang kiriman terakhir ibu. Untungnya, sekarang aku dan Fe sudah satu sekolah. Jadi, aku tak perlu selelah dulu saat Fe masih duduk dibangku SMP dan aku sudah SMA. Setiap pagi, aku harus mengantar Fe ke sekolahnya, barulah aku menuju ke sekolahku yang arahnya sangat berlawanan. Fe, adikku yang sangat kusayangi, cengeng, dan juga manja. Ia sudah tidak mau lagi bergantian denganku mengayuh sepeda. Capek, katanya. Ditambah lagi, setelah mengayuh sepeda berkilo meter akan membuat kaki pegal-pegal dan tubuh ini menjadi mandi keringat, dan ia tak mau diperolok oleh temannya karena pagi-pagi sudah bau keringat. Aku tak pernah bisa marah pada Fe atas sikap manjanya. Keceriaan dan candanya selalu bisa melunturkan amarahku.

Sepulang sekolah, aku berganti pakaian, sholat kemudian bersepeda mencari ayah di jalan-jalan yang biasa ayah lalui. Hari ini, matahari sangat terik. Berkali-kali aku mengusap dahi yang bercucuran keringat sambil terus mengayuh pedal. Aku beristirahat di bawah pohon rindang untuk mengumpulkan tenaga. Ayah. Terlihat ayah tengah kelelahan mendorong gerobak beberapa meter dariku sambil melempar senyum yang terkesan di paksakan. Wajahnya tampak sangat letih. Aku menghampirinya.

“Yah, gimana? Laris?”

“Alhamdulillah Ran. Panasnya hari ini justru rezeki buat kita. Es dawet Ayah, terjual habis.”

“Alhamdulillah. Nah, sekarang giliran Ayah yang naik sepeda, dan Rani yang dorong gerobak.”

“Kamu yakin?”

Aku segera mengambil alih gerobak dari tangan ayah. Karena dawetnya sudah habis, jadi gerobak ini tidak terlalu berat. Ayah menggowes pelan sepeda sambil terus bertanya, “ Sudah capek, belum?” Aku terus menggeleng. Cukup dengan melihat senyum ayah, sudah menjadi sumber kekuatan untukku. Gerobak ini, menarikku kembali ke masa saat aku baru berusia 5 tahun dan Fe, 3 tahun. Saat itu, ibu masih bersama kami dan tubuh ayah juga masih sangat kekar dan sehat. Ayah sering menyuruh kami duduk di dalam gerobak untuk menemaninya berjualan. Ketika ada pembeli, kami akan keluar dari dalam gerobak dan menari ala-ala Indian. Orang-orang langsung berkerumun melihat kami sambil menikmati es dawet ayah. Masa-masa indah itu, kini hanya bisa jadi kenangan yang takkan bisa aku lupakan.

Saat kami sampai di halaman rumah, sebuah mobil Pajero Sport terparkir di halaman rumah. Aku dan ayah saling berpandangan sembari menerka-nerka siapa gerangan yang datang. Seingatku, saudara kami tidak ada yang memiliki mobil semewah itu. Kami memarkirkan gerobak dan sepeda di halaman. Kemudian masuk ke rumah.

Di ruang tamu, Fe tengah duduk manja sambil memeluk seorang wanita. Dia masih secantik dulu, kulitnya sekarang tampak bersih dan terawat. Pakaiannya juga bagus dan sudah pasti mahal. Ibu.

“ Rani !” Ibu langsung berdiri dan membentangkan kedua tangan. Terpancar kerinduan mendalam dari air mukanya. Aku bukannya segera berlari memeluk ibu, kini malah mematung. Rasa rinduku padanya yang selama ini bertumpuk, lenyap begitu saja. Hampa. 9 tahun sudah cukup membuat chemistry antara aku dan ibu menghilang. Ibu tampak limbung melihatku yang tetap bergeming.

“Kak, ini Ibu. Cantik sekali kan, sekarang?”

Aku tetap terpaku. Ibu pun menghampiriku. Memelukku erat sambil sesekali menciumi keningku. Masih tetap hampa. Inilah titik kehampaan paling kejam yang pernah kurasakan. Kebekuan dalam hati ini tak jua mencair oleh dekapan hangat ibu. Lidahku kelu, tak mampu berkata-kata. Air mataku pun menetes satu demi satu sebelum akhirnya menderas seperti air terjun. Mungkin hanya ini yang bisa mewakili perasaanku. Baju ibu ikut basah oleh air mataku.

“ Rani, anak ibu. Kamu menangis, Nak?” Ibu melepaskan dekapannya lalu mengusap kedua pipiku yang sudah basah sedari tadi.

“Wi,” Ibu berpaling ke ayah.

“ Mas, apa kabar?”

“ Membaik setelah kamu ada di sini.”

Ibu menciumi punggung tangan ayah. Perasaan bersalah yang teramat sangat terlihat jelas olehku. Ada apa sebenarnya? Batinku mulai bertanya-tanya.

“ Kak, kita ke kamar dulu aja, yuk. Ibu bawa banyak oleh-oleh buat kita.” Fe menuntunku ke kamar. Meninggalkan ayah dan ibu berdua.

Di dalam kamar berukuran 3x2 ini, terasa sesak dengan adanya begitu banyak barang bawaan ibu. Dari mulai makanan ringan, pakaian, parfum, handphone, laptop, gadget, souvenir dan benda-benda lain yang akan sangat melelahkan kalau aku harus menyebutkannya satu-satu.

“Kak, liat deh baju ini. Cocok banget kan sama aku. Dan kalo yang ini, lebih pas kalau Kakak yang pakai. Ada handphone Kak, seumur-umur kan kita belum pernah punya ini. Ada laptop pula.” Aku menyimak semua celoteh Fe namun reaksiku tetap tak berubah. Mulutku terkunci rapat.

“ Kak, Kakak sebenernya kenapa sih? Kakak nggak seneng ya ibu pulang? Bukannya setiap malem kita selalu berdo’a bareng-bareng agar keluarga kita utuh lagi. Tapi kenapa sekarang malah kayak gini?”

Fe menatapku prihatin. Sikapku yang seperti ini bukan karena aku yang menghendaki. Mungkin ini terjadi karena aku belum siap. Aku belum siap dengan kepulangan ibu yang tiba-tiba.

“ Kak, ngomong dong Kak. Jangan diem aja kayak gini. Sebelumnya Kakak nggak pernah-pernahnya begini.”

Fe merapatkan posisinya duduk d sebelahku. Menatapku lekat-lekat lalu memelukku. Nyaman sekali. Mulutku sedikit demi sedikit mulai terbuka.

“ Kakak juga nggak tau kenapa bisa jadi gini, Dek.” Fe melepaskan dekapannya.

“ Apapun alasannya, Kakak nggak boleh bersikap kayak gini lagi di depan ibu. Kasian ibu, Kak,”

“Iya.” Sahutku, ringkas.

Malam harinya, kami sekeluarga duduk lesehan di atas tikar mengitari hidangan yang telah ibu masak. Ibu menatap kami satu persatu dengan ulasan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Aku membalas senyumannya, sekuat hati melawan segala kebekuan yang masih tersisa siang tadi. Ibu mengambilkan nasi untuk ayah lalu mengisi piringnya sendiri dengan nasi dan lauk-pauk yang begitu banyak. Ku kira, ibu akan menghabiskannya sendiri. Rupanya, ibu menyuapiku juga Fe secara bergilir. Ayah kelihatan sangat bahagia menyaksikan pemandangan yang sudah sangat ia rindukan bertahun-tahun. Tampak dari air mukanya yang sangat cerah.

Selesai makan dan mencuci piring kotor, kami berkumpul lagi di ruang keluarga. Berceritalah aku, ayah dan juga Fe selama ibu tidak ada di sini. Dari mulai cerita-cerita yang mengocok perut sampai kejadian memilukan sekali pun tumpah ruah malam itu juga.

Malam sudah semakin larut. Aku dan Fe memutuskan untuk tidur karena besok masih ada ujian. Ayah dan ibu, lagi-lagi kami tinggalkan berdua saja. Aku juga Fe sudah berbaring di tempat tidur. Inilah canggihnya Fe, baru beberapa menit kepalanya menempel di bantal, ia sudah terlelap. Aku masih belum bisa tidur. Mengingat kehampaan tadi siang yang saat ini berangsur memudar. 1 jam, 2 jam, aku tetap belum bisa tidur meskipun mataku sudah kupejamkan.
Terdengar isakkan lirih yang menembus dinding kamarku. Tepatnya, suara itu berasal dari ruang tengah. Aku berjalan pelan, mengintip di balik tirai kamar. Ibu sedang bersimpuh di bawah kaki ayah. Ekspresi yang sama seperti tadi siang saat ibu menciumi punggung tangan ayah. Perasaan bersalah.

“ Mas, maafkan aku. Aku tau dan sadar betul akan kesalahanku. Aku tak sepantasnya kembali ke keluarga ini, tapi aku sangat menyayangi anak-anak kita, Mas.” Ayah hanya diam sambil memegangi selembar foto, kekecewaan dan amarah terpancar dari guratan wajahnya namun tak bisa diungkapkan dalam bentuk kata-kata.

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kuputuskan untuk tetap menguping pembicaraan mereka.

“Mas, sekarang aku telah bercerai dengan orang itu. Ia menceraikanku sejak ia tau aku sudah mempunyai suami dan anak. Dan sejak itu aku mulai menyadari betapa egoisnya aku, bahagia di atas penderitaan kalian. Mas, kamu boleh pukul aku sepuas hati kamu. Kamu boleh mencaci maki aku. Atau kalo belum puas juga, kamu boleh bunuh aku. Tapi tolong Mas, jangan pernah bilang ke anak-anak kalo aku pernah mengkhianati ayahnya.”

Mendengar hal itu, membuat hatiku seperti disayat-sayat. Ibu, jadi selama ini ibu tidak kunjung pulang karena telah mempunyai suami baru di sana. Tega-teganya ibu mengkhianati ayah yang begitu mencintainya. Tega sekali ibu membuat kami menunggu sementara ia hidup dengan tenang dan nyaman di sana.

“ Membunuhmu pun takkan bisa mengobati rasa sakit hatiku, Wi.” Ucap ayah.

“ Lantas apa yang harus aku lakukan agar kamu mengampuniku, Mas? Apa kamu ingin aku angkat kaki lagi dari rumah ini?” tanya ibu, di sela-sela isak tangisnya.
Lama ayah terdiam.

“ Buang jauh-jauh kenanganmu bersama orang itu, dan jadilah ibu yang baik untuk anak-anak. Mereka sangat membutuhkanmu.”

Air mataku tak mampu lagi di bendung mendengar kata-kata ayah. Hati ayah begitu mulia. Ketegarannya yang sangat luar biasa membuatku sangat bangga menjadi puterinya.
Ibu menengadah, memandangi wajah ayah. Tanpa ragu, ayah menggamit kedua pundak ibu. Membangkitkannya dari posisi bersimpuh kemudian mendekap erat tubuh ibu. Ibu makin sesegukkan.

“ Sudahlah, jangan seperti ini terus. Aku masih sangat mencintaimu, Wi. Biarlah semuanya ini jadi pelajaran untuk kita. Dan berjanjilah, untuk mengabdikan sisa hidupmu untukku juga untuk anak-anak kita.”

0 komentar:

Posting Komentar