Penulis : Agung Andalusi
Di halaman sebuah rumah.
Ini bukanlah rumah biasa, tapi dulu rumah ini adalah sebuah istana tempat kisah-kisah bahagia lahir dan hidup. Halaman rumah ini masih amat terawat, karena aku menyewa seorang tukang kebun untuk selalu memotong rumput-rumput yang telah panjang dan menyapu daun-daun yang berjatuhan.
Aku melangkah ke dalam rumah, ku lihat semuanya masih tertata dengan baik. Lantainya bersih dan tidak ada debu yang terlihat menempel di kaca atau di meja. Ini karena aku telah menyewa teman dari tukang kebunku untuk membersihkan seluruh rumah ini setiap hari.
Rumah ini sekarang bagaikan sebuah labirin bagiku. Jika aku berada di sini, aku seperti terperangkap dalam kenangan-kenangan masa lalu. Terperangkap, tak ada jalan keluar, tak ubahnya seperti labirin yang sangat rumit.
Langit barat menjingga.
Angin semilir yang menyejukkan membuatku seperti berada di surga.
Ku pegang erat tangannya.
Lalu ku lihat senyumannya.
Sungguh, sebuah senja yang sempurna.
Sesungguhnya ku tak ingin hari yang indah ini tenggelam dalam malam yang teramat kelam.
Aku mendekapnya erat-erat, seolah ingin mengatakan aku tak ingin kehilangannya lagi.
Sungguh aku tak pernah merasa sehidup ini.
Lalu malam pun segera datang.
Aku mengatakan kepadanya kalau aku harus pulang.
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya.
Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Aku mengecup keningnya.
Aku berjalan, menolehkan wajah, dia melambaikan tangan.
Sesaat kulihat bayangannya hilang bersama terbenamnya hari.
Kini aku di rumah, di kamarku atau lebih tepatnya di kamar aku dan istriku, di atas sebuah kursi. Aku duduk menghadap ke jendela, ku lihat halaman belakang rumahku. Aku langsung teringat akan kenangan aku, istriku, dan dua anak kami. Kami berempat sering menghabiskan waktu bersama di sana. Hatiku dalam kebimbangan, apakah aku harus meninggalkan dan melupakan semua kenangan ini dan memulai sebuah hidup yang baru.
“Papa! Papa!” aku tersentak kaget, ternyata itu adalah istriku.
“Kita harus bicara!”
“Ada apalagi sayang?” tanya diriku.
“Apa ini?” tanya istriku seraya melemparkan beberapa lembar kertas, aku mengenali kertas-kertas itu.
“Ini kan tulisan papa buat novel baru papa”
“Ada nama Mira di sini!”
“Lalu? Itukan hanya karakter novelku.”
“Jadi bukan diriku juga?”
“Jadi, kamu cemburu ya?” tanyaku sambil tersenyum.
“Sudahlah ma, kenapa kita harus ribut gara-gara hal sepele seperti ini”
“Jelas ini bukan hal sepele! Mama ingin tahu, papa lebih cinta mama atau karakter novel papa?”
“Ngawur kamu. Tentu papa lebih cinta mama”
“Berarti papa juga cinta karakter novel papa?”
“Berarti tadi cuma jebakan ya? Udahlah ma, jangan suka buat masalah. Apalagi hal sepele kayak gini. Papa kan penulis, jadi mama mesti ngerti kalau penulis butuh imajinasinya ketika bekerja.”
“Papa yang gak pernah bisa ngerti perasaan mama!” Mata istriku berkaca-kaca, lalu titik-titik air matanya mengalir.
“Ma... maafin papa...” pintaku.
Namun istriku pergi dari hadapanku, meninggalkan diriku yang hanya termenung mematung.
Segarnya angin pagi menandakan sebuah hari baru.
Aku kembali bersamanya.
Aku bercerita padanya jika aku dan istriku bertengkar semalam.
Dia yang memulainya, begitu kataku padanya.
Dia tersenyum.
Aku harus lebih sabar, aku harus lebih mengerti, dan aku harus lebih sayang padanya.
Begitu dia bilang.
Sungguh sebuah nasehat yang menyejukkan darinya.
Aku berkata padanya bahwa aku merindukan seorang istri seperti dirinya.
Dia kelihatan tidak senang.
Aku harus ikhlas, aku harus menyayangi istriku, sama seperti aku menyayanginya.
Begitu katanya.
Aku pun meminta maaf untuk semua kata-kataku.
Lalu kami berbincang-bincang.
Aku menceritakan keadaan halaman belakang tempat kami dulu menghabiskan waktu bersama.
Dia berkata betapa rindunya dia ingin kembali ke sana.
Lalu dia bercerita tentang kenangan-kenangan indah kami bersama.
Dia bertanya apakah aku mengingatnya.
Tentu saja! Begitu kataku.
Kami berbincang dengan begitu semangat.
Jam demi jam berlalu.
Tak terasa hari hampir berakhir.
Aku mengatakan padanya kalau aku harus pulang.
Aku mengatakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya.
Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Aku mengecup keningnya.
Aku berjalan, sesekali menolehkan wajah, dia melambaikan tangan.
Sesaat kulihat bayangannya hilang bersama terbenamnya hari.
Kini aku di rumah, di kamarku atau lebih tepatnya di kamar aku dan istriku, di atas sebuah tempat tidur. Aku melihat sekeliling kamar, aku langsung teringat akan kenangan kami berdua ketika kami pertama kali pindah ke rumah ini, rumah baru kami. Kami telah merasakan kebahagian yang teramat besar di rumah ini. Sepertinya, kesedihan adalah hal asing bagi kami di rumah ini sampai akhirnya Tuhan memanggil anak-anak dan istriku.
Ku lihat sebuah kertas, sepertinya itu adalah surat atau pesan.
“Mama dengar papa mengigau, papa menyebut nama Mira terus menerus.
Mama sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini....
Selalu ada nama Mira dalam novel papa....
Papa masih cinta Mira, dan papa lebih mencintai dia daripada aku....
Maafin mama kalau mama harus pergi dengan cara ini....
Selamat tinggal papa....
Semoga papa selalu bahagia bersama Mira dalam imajinasi papa....
Mama sayang papa....”
Setelah membaca pesan itu aku segera ke kamar mandi, kulihat istriku berlumuran darah dengan pisau di tangan kanannya.
“Jadi, anda ingin mengatakan bahwa ibu Mira bunuh diri setelah anda menyebut nama Mira, istri pertama bapak, sewaktu anda tidur?”
“Betul pak, bapak sudah lihat kan pesan terakhir istri saya”
“Kira-kira darimana ibu Mira tahu bahwa anda menyebut nama Mira, istri anda pertama dulu, dan bukan dia sendiri?”
“Saya tidak tahu”
“Apa bapak tetap memajang foto-foto Mira istri anda yang pertama?”
“Tidak. Tidak ada”
“Jika boleh tahu, istri anda yang pertama sekarang di mana?”
“Sudah meninggal”
“Oh, maaf. Kenapa? Maksud saya, bagaimana dia meninggal?”
“Bunuh diri”
“Oh, bagaimana dia....”
“Dia minum racun, istriku depresi setelah dua anak kami meninggal karena kecelakaan.”
“Saya dengar setelah istri anda meninggal, novel anda langsung terkenal, benar begitu?”
“Kira-kira begitu. Bapak sudah tahu tentang istri saya, kenapa tadi bapak masih bertanya?”
“Saya hanya ingin mengklarifikasi saja. Baiklah pak Edwin, sekian untuk pemeriksaan kali ini. Terima kasih atas kerja samanya. Jika pihak kepolisian membutuhkan keterangan dari bapak lagi, kami akan mengubungi bapak.”
“Sama-sama pak, saya siap kapan saja jika polisi ingin memanggil saya lagi.”
“Saya ingin bertanya satu hal lagi. Kenapa bapak menikahi wanita yang namanya sama dengan istri pertama bapak? Maaf jika pertanyaan saya ini lancang.”
“Mungkin hanya kebetulan saja.” Kataku sambil tersenyum. Pak polisi itu pun tersenyum.
“Istri saya menyukai novel-novel anda!” sahut pak polisi itu. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Aku berjalan dengan santai ketika keluar dari kantor polisi. Meski cuaca amat cerah, tetapi aku seperti tak merasakan panasnya matahari. Aku berhenti di sebuah persimpangan, ku lihat seseorang di seberang jalan. Dia lah wanita yang selalu ku sayangi dan ku cintai. Aku berjalan menemuinya, aku tak sabar untuk melihat wajah cantiknya. Aku melihatnya tersenyum, aku meminta maaf padanya karena hari ini datang terlambat. Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Meski hanya dalam fantasi, tapi aku merasa dia lebih nyata dari realita.
Meski hanya dalam goresan tulisan, tapi dia selalu hidup dan seolah tak pernah ada kematian.
Aku hanya mencintainya seorang, sungguh aku tak akan pernah mencintai orang lain seperti aku mencintai dirinya.
Sudah kuputuskan.
Aku tak akan pernah mencari cinta yang lain, aku tak akan menikahi wanita la
Ini bukanlah rumah biasa, tapi dulu rumah ini adalah sebuah istana tempat kisah-kisah bahagia lahir dan hidup. Halaman rumah ini masih amat terawat, karena aku menyewa seorang tukang kebun untuk selalu memotong rumput-rumput yang telah panjang dan menyapu daun-daun yang berjatuhan.
Aku melangkah ke dalam rumah, ku lihat semuanya masih tertata dengan baik. Lantainya bersih dan tidak ada debu yang terlihat menempel di kaca atau di meja. Ini karena aku telah menyewa teman dari tukang kebunku untuk membersihkan seluruh rumah ini setiap hari.
Rumah ini sekarang bagaikan sebuah labirin bagiku. Jika aku berada di sini, aku seperti terperangkap dalam kenangan-kenangan masa lalu. Terperangkap, tak ada jalan keluar, tak ubahnya seperti labirin yang sangat rumit.
Langit barat menjingga.
Angin semilir yang menyejukkan membuatku seperti berada di surga.
Ku pegang erat tangannya.
Lalu ku lihat senyumannya.
Sungguh, sebuah senja yang sempurna.
Sesungguhnya ku tak ingin hari yang indah ini tenggelam dalam malam yang teramat kelam.
Aku mendekapnya erat-erat, seolah ingin mengatakan aku tak ingin kehilangannya lagi.
Sungguh aku tak pernah merasa sehidup ini.
Lalu malam pun segera datang.
Aku mengatakan kepadanya kalau aku harus pulang.
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya.
Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Aku mengecup keningnya.
Aku berjalan, menolehkan wajah, dia melambaikan tangan.
Sesaat kulihat bayangannya hilang bersama terbenamnya hari.
Kini aku di rumah, di kamarku atau lebih tepatnya di kamar aku dan istriku, di atas sebuah kursi. Aku duduk menghadap ke jendela, ku lihat halaman belakang rumahku. Aku langsung teringat akan kenangan aku, istriku, dan dua anak kami. Kami berempat sering menghabiskan waktu bersama di sana. Hatiku dalam kebimbangan, apakah aku harus meninggalkan dan melupakan semua kenangan ini dan memulai sebuah hidup yang baru.
“Papa! Papa!” aku tersentak kaget, ternyata itu adalah istriku.
“Kita harus bicara!”
“Ada apalagi sayang?” tanya diriku.
“Apa ini?” tanya istriku seraya melemparkan beberapa lembar kertas, aku mengenali kertas-kertas itu.
“Ini kan tulisan papa buat novel baru papa”
“Ada nama Mira di sini!”
“Lalu? Itukan hanya karakter novelku.”
“Jadi bukan diriku juga?”
“Jadi, kamu cemburu ya?” tanyaku sambil tersenyum.
“Sudahlah ma, kenapa kita harus ribut gara-gara hal sepele seperti ini”
“Jelas ini bukan hal sepele! Mama ingin tahu, papa lebih cinta mama atau karakter novel papa?”
“Ngawur kamu. Tentu papa lebih cinta mama”
“Berarti papa juga cinta karakter novel papa?”
“Berarti tadi cuma jebakan ya? Udahlah ma, jangan suka buat masalah. Apalagi hal sepele kayak gini. Papa kan penulis, jadi mama mesti ngerti kalau penulis butuh imajinasinya ketika bekerja.”
“Papa yang gak pernah bisa ngerti perasaan mama!” Mata istriku berkaca-kaca, lalu titik-titik air matanya mengalir.
“Ma... maafin papa...” pintaku.
Namun istriku pergi dari hadapanku, meninggalkan diriku yang hanya termenung mematung.
Segarnya angin pagi menandakan sebuah hari baru.
Aku kembali bersamanya.
Aku bercerita padanya jika aku dan istriku bertengkar semalam.
Dia yang memulainya, begitu kataku padanya.
Dia tersenyum.
Aku harus lebih sabar, aku harus lebih mengerti, dan aku harus lebih sayang padanya.
Begitu dia bilang.
Sungguh sebuah nasehat yang menyejukkan darinya.
Aku berkata padanya bahwa aku merindukan seorang istri seperti dirinya.
Dia kelihatan tidak senang.
Aku harus ikhlas, aku harus menyayangi istriku, sama seperti aku menyayanginya.
Begitu katanya.
Aku pun meminta maaf untuk semua kata-kataku.
Lalu kami berbincang-bincang.
Aku menceritakan keadaan halaman belakang tempat kami dulu menghabiskan waktu bersama.
Dia berkata betapa rindunya dia ingin kembali ke sana.
Lalu dia bercerita tentang kenangan-kenangan indah kami bersama.
Dia bertanya apakah aku mengingatnya.
Tentu saja! Begitu kataku.
Kami berbincang dengan begitu semangat.
Jam demi jam berlalu.
Tak terasa hari hampir berakhir.
Aku mengatakan padanya kalau aku harus pulang.
Aku mengatakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya.
Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Aku mengecup keningnya.
Aku berjalan, sesekali menolehkan wajah, dia melambaikan tangan.
Sesaat kulihat bayangannya hilang bersama terbenamnya hari.
Kini aku di rumah, di kamarku atau lebih tepatnya di kamar aku dan istriku, di atas sebuah tempat tidur. Aku melihat sekeliling kamar, aku langsung teringat akan kenangan kami berdua ketika kami pertama kali pindah ke rumah ini, rumah baru kami. Kami telah merasakan kebahagian yang teramat besar di rumah ini. Sepertinya, kesedihan adalah hal asing bagi kami di rumah ini sampai akhirnya Tuhan memanggil anak-anak dan istriku.
Ku lihat sebuah kertas, sepertinya itu adalah surat atau pesan.
“Mama dengar papa mengigau, papa menyebut nama Mira terus menerus.
Mama sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini....
Selalu ada nama Mira dalam novel papa....
Papa masih cinta Mira, dan papa lebih mencintai dia daripada aku....
Maafin mama kalau mama harus pergi dengan cara ini....
Selamat tinggal papa....
Semoga papa selalu bahagia bersama Mira dalam imajinasi papa....
Mama sayang papa....”
Setelah membaca pesan itu aku segera ke kamar mandi, kulihat istriku berlumuran darah dengan pisau di tangan kanannya.
“Jadi, anda ingin mengatakan bahwa ibu Mira bunuh diri setelah anda menyebut nama Mira, istri pertama bapak, sewaktu anda tidur?”
“Betul pak, bapak sudah lihat kan pesan terakhir istri saya”
“Kira-kira darimana ibu Mira tahu bahwa anda menyebut nama Mira, istri anda pertama dulu, dan bukan dia sendiri?”
“Saya tidak tahu”
“Apa bapak tetap memajang foto-foto Mira istri anda yang pertama?”
“Tidak. Tidak ada”
“Jika boleh tahu, istri anda yang pertama sekarang di mana?”
“Sudah meninggal”
“Oh, maaf. Kenapa? Maksud saya, bagaimana dia meninggal?”
“Bunuh diri”
“Oh, bagaimana dia....”
“Dia minum racun, istriku depresi setelah dua anak kami meninggal karena kecelakaan.”
“Saya dengar setelah istri anda meninggal, novel anda langsung terkenal, benar begitu?”
“Kira-kira begitu. Bapak sudah tahu tentang istri saya, kenapa tadi bapak masih bertanya?”
“Saya hanya ingin mengklarifikasi saja. Baiklah pak Edwin, sekian untuk pemeriksaan kali ini. Terima kasih atas kerja samanya. Jika pihak kepolisian membutuhkan keterangan dari bapak lagi, kami akan mengubungi bapak.”
“Sama-sama pak, saya siap kapan saja jika polisi ingin memanggil saya lagi.”
“Saya ingin bertanya satu hal lagi. Kenapa bapak menikahi wanita yang namanya sama dengan istri pertama bapak? Maaf jika pertanyaan saya ini lancang.”
“Mungkin hanya kebetulan saja.” Kataku sambil tersenyum. Pak polisi itu pun tersenyum.
“Istri saya menyukai novel-novel anda!” sahut pak polisi itu. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Aku berjalan dengan santai ketika keluar dari kantor polisi. Meski cuaca amat cerah, tetapi aku seperti tak merasakan panasnya matahari. Aku berhenti di sebuah persimpangan, ku lihat seseorang di seberang jalan. Dia lah wanita yang selalu ku sayangi dan ku cintai. Aku berjalan menemuinya, aku tak sabar untuk melihat wajah cantiknya. Aku melihatnya tersenyum, aku meminta maaf padanya karena hari ini datang terlambat. Aku berkata kepadanya bahwa aku selalu mencintainya, sejak pagi hingga senja, seperti saat ini.
Meski hanya dalam fantasi, tapi aku merasa dia lebih nyata dari realita.
Meski hanya dalam goresan tulisan, tapi dia selalu hidup dan seolah tak pernah ada kematian.
Aku hanya mencintainya seorang, sungguh aku tak akan pernah mencintai orang lain seperti aku mencintai dirinya.
Sudah kuputuskan.
Aku tak akan pernah mencari cinta yang lain, aku tak akan menikahi wanita la
0 komentar:
Posting Komentar