Penulis : Yulia Rahayu (www.facebook.com/yulia.rahayu.14)
Judul : Ketika Cinta Pergi
Raganya tak lagi berjiwa. Kosong. Sekelebat ingatan itu berhasil membuncahkan emosinya. Tatapannya sarat akan kesedihan yang amat mendalam. Gadis itu perlahan memejamkan matanya, terlarut dalam ingatan-ingatan yang terus berseliweran di benaknya. Membiarkan butiran-butiran air mata itu mengalir begitu saja membasahi kedua belah pipinya.
Hatinya menjerit. Jeritannya bahkan lebih kencang dari suara apapun di luar sana. Ia menangis dalam diamnya. Ia menangis dan tak ada siapapun yang tahu betapa sakitnya Dirinya. Tak ada yang mampu merasakannya. Hanya Dirinya.
******
Bianca terus melangkahkan kakinya menapaki jalanan beraspal yang sudah ia hapal di luar kepala sambil bersenandung kecil. Sesekali ia menatap jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Bianca menghela napas sejenak, kemudian memperbaiki posisi dua kantong plastik yang tengah di genggamnya. Ia baru saja membeli makanan di warung kecil di ujung jalan untuk ia makan bersama adiknya. Bianca mendesah pelan sambil merapatkan cardigan berwarna pink soft yang sedang ia kenakan. Malam ini udara benar-benar dingin.
******
Bianca terus melangkahkan kakinya menapaki jalanan beraspal yang sudah ia hapal di luar kepala sambil bersenandung kecil. Sesekali ia menatap jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Bianca menghela napas sejenak, kemudian memperbaiki posisi dua kantong plastik yang tengah di genggamnya. Ia baru saja membeli makanan di warung kecil di ujung jalan untuk ia makan bersama adiknya. Bianca mendesah pelan sambil merapatkan cardigan berwarna pink soft yang sedang ia kenakan. Malam ini udara benar-benar dingin.
Rintik-rintik hujan perlahan turun membasahi bumi. Bianca cukup kaget ketika butiran-butiran air itu menyentuh kulitnya dingin. Ditatapnya kafe yang berjarak beberapa meter dari posisinya. Tanpa berpikir panjang, Bianca berlari kecil menuju kafe tersebut, bermaksud untuk berteduh. Ia tak ingin basah kuyup sesampainya di rumah.
Hujan terus turun dengan deras yang tanpa ampun. Satu. Dua. Tiga. Bianca menghitung dalam hati. Sampai kapan ia harus berteduh di kafe itu? Berkali-kali ia mengeluarkan umpatan-umpatan kecil dari bibir mungilnya. Sudah hampir dua puluh menit Bianca berteduh di situ. Ia menatap langit yang terus memuntahkan isinya itu. Tak ada tanda-tanda atau isyarat bahwa hujan akan berhenti. Wajahnya cemas, bibir mungilnya terkunci rapat. Lagi dan lagi, ia kembali menatap jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Lelah berdiri, akhirnya ia menyandarkan punggungnya di dinding kafe yang masih terbuka itu. Tak ada kursi yang bisa ia duduki. Ia benar-benar sial hari ini.
“Huhh…” Bianca mendesah berat. Bagaimana caranya Bianca bisa pulang jika hujan ini tidak berhenti? Ia sempat berpikir untuk menerobos hujan yang telah mengunci tubuhnya di tempat itu. Namun, di lain sisi ia juga tidak bisa. Air hujan benar-benar dingin dan jarak rumahnya masih lumayan jauh. Bianca tak bisa menjamin bahwa ia masih bisa selamat sampai di rumahnya.
Bego! Bianca merutuki kebodohan dirinya sendiri. Kenapa ia tak meminjam payung di kafe tempatnya berada sekarang saja? Benar-benar bodoh, bukan?
Bianca akhirnya melangkahkan kakinya mendekati pintu kafe itu. Namun, tiba-tiba saja pandangannya terhenti pada satu titik. Dua manusia yang sedang duduk dengan manisnya di dalam sana, seorang lelaki dan wanita. Kafe itu hanya menggunakan kaca transparan, sehingga ia dapat melihat apapun di dalamnya dengan jelas. Dua manusia itu sedang asik berbincang-bincang. Terlihat mesra, layaknya sepasang kekasih.
“Aldy…” Ucap Bianca perlahan dalam hati. Ia yakin mengenali salah satu dari dua orang itu. Ia yakin, ia tidak salah. Lelaki itu, Aldy. Orang yang selama ini ia anggap kekasih.
Bianca terus menatap kedua orang itu dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Mendadak dadanya terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat namun tidak ada air mata sama sekali yang keluar bahkan menggenang di pelupuk matanya. Ini bukan pertama kalinya. Ia bahkan sudah tak mampu mengingat sudah berapa kali ia melihat kejadian ini dengan mata kepalanya sendiri. Tapi, apa yang ia buat? Ia hanya menangis, kemudian kembali mengusahakan dirinya untuk melupakan kejadian itu dan tetap memaafkan Aldy. Bianca tak bisa menyangkal, ia benar-benar mencintai Aldy. Dan sekarang, ia harus bagaimana? Haruskah ia berhenti sampai disini? Ia sudah cukup lelah. Ia sudah merasa cukup bahkan lebih merasakan itu semua. Tapi di suatu sisi, ia juga tak mampu. Ia masih mencintai Aldy. Sangat.
Wanita itu. Bianca sama sekali tidak mengenalnya. Namun, ia sudah menghapal wajah wanita itu di luar kepala. Wanita itu, wanita yang selalu ia lihat bersama Aldy. Di dalam sana, Bianca bisa melihat jelas ekspresi wajah Aldy. Terlihat bahagia? Ya, semua orang bahkan tahu, dari tatapannya, kelihatan sekali bahwa Aldy memang menyayangi wanita yang di hadapannya itu. Cara Aldy menatap wanita itu, berbeda ketika Aldy menatap Bianca. Ditatap oleh bola mata yang sama. Namun dengan cara yang berbeda. Ketika Aldy tersenyum pada wanita itu, senyumannya benar-benar berbeda. Tidak sama. Apa yang harus Bianca lakukan? Memaksa Aldy untuk meninggalkan wanita itu dan mencintanya? Rasanya itu tidak mungkin. Ia juga tak mampu meninggalkan Aldy. Terlebih lagi jika terus diam dalam keadaan seperti ini. Ia tidak akan mampu.
*****
“Ada apa, Al?” Tanya Bianca pelan sambil menatap Aldy tepat di manik mata sambil tersenyum tipis.
Aldy berdehem pelan. “Kamu agak kurusan, Al. Makan yang banyak. Biar kamu nggak kurusan.” Kata Bianca lagi dengan penuh perhatian. Ia memusatkan tatapannya pada wajah Aldy. Sehari penuh kemarin ia sama sekali tidak melihat wajah itu. Itukah yang disebut ‘rindu’? Entahlah. Bianca tidak peduli. Yang penting sekarang ia sudah bisa melihatnya kembali.
“Maaf,” Ucap Aldy pelan. Bianca mengernyit. “Buat apa? Kamu ngga per—“
“Kita sampai di sini aja. Maaf. Aku bener-bener ngga bisa, Bi.” Sela Aldy tanpa menunggu Bianca menyelesaikan kalimatnya. Bianca terkesiap, tidak menyangka dengan apa yang baru saja diucapkan Aldy. mendadak ia lupa cara bernafas dengan baik. Tubuhnya mati rasa.
“Maaf.” Kata Aldy lagi. Bianca tertunduk diam. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. Lidahnya terasa kaku untuk sekedar berucap. Pandangannya tiba-tiba saja mengabur karena air mata yang perlahan menggenang di kelopak matanya. Akhirnya, sesuatu yang paling tidak diharapkannya terjadi. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam isak tangisnya. Perlahan, ia memejamkan matanya terlarut dalam air mata yang bahkan tak ia sadari turun membasahi kedua belah pipinya. Akhirnya, pertahanannya yang begitu kokoh runtuh juga. Tangisan yang selama ini ia tahan-tahan akhirnya keluar juga. Sesakit itukah?
Perlahan namun pasti, Bianca merasakan derap langkah Aldy yang semakin menjauh. Didongakkannya kepalanya dengan cepat kemudian berlari kecil dan menarik tangan Aldy. Menahan lelaki itu untuk pergi darinya.
“Al, aku mohon jangan kayak gini,” Bianca masih tetap menahan Aldy. Ditatapnya kedua mata Aldy dengan tatapannya yang sarat akan rasa sakit yang amat sangat.
“Maaf.” Sesal Aldy. Satu, dua, tiga, empat. Aldy bahkan sudah mengucapkan kata maaf sebanyak empat kali dalam kurun waktu lima menit.
Bianca menggeleng pelan terus membiarkan air matanya terjun bebas turun di kedua belah pipinya. Ia sakit. Ia rapuh. Siapa yang merasakannya? Lelaki di hadapannya bahkan tidak tahu seberapa sakitnya dirinya saat ini. Tidak. Seberapa sakitnya ia selama ini.
“Gara-gara cewek itu, kan? Al, aku tau, aku ngga lebih cantik dari dia, aku ngga lebih baik dari dia. Tapi aku mohon, jangan kayak gini, Al. Ayo bilang kalo semua yang kamu ucapin tadi itu ngga bener. Kamu bercanda, kan?” Aldy tidak bergeming. Ia tetap bungkam.
“Al, berbohonglah kalo emang itu bisa buat aku senang. Al…”
Bianca terus menggenggam tangan Aldy erat seakan tak ingin melepaskannya. Dipeluknya tubuh Aldy dengan pelan. Aldy hanya diam. Tak membalas sama sekali. Perlahan Bianca terisak pelan dalam pelukannya. Ia tak bisa membohongi bahwa ia merindukan pelukan itu. Pelukan yang sudah lama tak ia rasakan. Raganya seakan kosong. Hampa. Tak bernyawa. Satu ekspresi yang terukir jelas di wajahnya. Mati.
Sesakit itukah perpisahan?
“Jaga diri kamu baik-baik.” Desah Aldy perlahan kemudian mencoba melepaskan pelukan Bianca. Sementara Bianca? Ia hanya diam. Membiarkan Aldy lepas darinya. Ia tetap diam ketika Aldy membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah menjauh darinya. Pergi darinya. Bianca hanya bisa menatap punggung Aldy yang semakin menjauh dengan tangisnya yang belum juga mereda. Kemudian menunduk perlahan. Mempersiapkan dirinya sendiri yang tidak akan dapat melihat lelaki itu lagi—mulai sekarang.
Kalau bagimu mencintaiku adalah hal yang sangat berat. Kenapa kau tak mencoba bagaimana caraku mencintaimu dengan tulus? Kau tahu? Aku selalu menyebutmu di dalam doaku. Memohon-mohon kepada Tuhan untuk berbaik hati mengirimkanmu untukku. Agar kau bisa mencintaiku. Aku menyayangimu, apa kau tahu? Aku mencintaimu, apa kau merasakannya? Harusnya kau tahu, aku mencintaimu tanpa tanda Tanya. Dan sekarang, kau lebih memilih pergi. Aku bisa apa? Aku memang bukan yang terbaik untukmu. Mungkin memang ini Jalan yang Terbaik. Selamat Tinggal, kekasih.
1 komentar:
Yang publish cerpen ini siapa ya?? ini cerpenku^^
Posting Komentar